Berikut ini adalah pelajaran tasawuf dari Allamah Sayyid Abdullah
bin Alwi Al-Haddad tentang bisikan jiwa orang yang telah sampai (wushul) kepada
Allah.
Sayyid Abu Bakar bin Syaikh Al-Saqqaf Ba Alawi bertanya,
“Bagaimanakah hukum bisikan-bisikan yang melintas di hati orang yang washil
(sudah sampai kepada Allah mendapat kedudukan di sisi Allah)? Apakah ia harus
menolak bisikan-bisikan tersebut dan hanya bersandar kepada bisikan Allah, atau
apa yang mesti ia lakukan?”
Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad, menjawab: “Pemilik kedudukan
(washil) itu berbeda-beda tingkatan mereka. Orang yang mencapai kedudukan ini
memiliki dua keadaan. Pertama disebut al-jama’; Kedua disebut al-farq. Jika
seseorang mengalami keadaan yang pertama, yaitu al-jama’, ia akan fana terhadap
dirinya dan orang lain, ia akan asyik tenggelam bersama Tuhannya dengan seluruh
raganya. Saat itu, tidak ada lagi bisikan-bisikan yang datang, yang ada hanya
Allah, Dzat Yang Mahaada.
Seseorang yang sudah mencapai kedudukan ini berkata,“Jika pada
diriku terdapat bisikan keinginan selain kepada-Mu, yang muncul karena
kealpaanku, maka kuputuskan kemurtadan diriku.” Maksud dari “kemurtadan” di
sini adalah ‘Aku tidak tenggelam dan hanyut di dalam diri-Mu. Berarti dia tak
lagi di maqam ini.
Seseorang yang lain juga berkata, “Hatiku dipenuhi keinginan
beragam lalu menyatu sejak mata keinginanku memandang-Mu.”
Adapun bisikan yang bermacam-macam itu muncul disebabkan oleh
pikiran yang bercabang dan halangan yang banyak di dalam diri. Hal yang seperti
ini tidak dialami oleh seseorang yang sudah wushul (sampai) kepada Allah,
karena ia telah menyatukan pikiran dan kalbunya hanya kepada Allah semata. Keadaan
ini diisyaratkan oleh Rasulullah SAW, “Aku memiliki satu waktu yang aku isi
hanya bersama Tuhanku.”
Keadaan semacam ini amatlah jarang dialami oleh seseorang, saat itu
terjadi maka akan tampak hal-hal yang mengagumkan dan menakjubkan. Keadaan ini
pernah dialami oleh beberapa masyayikh (para syekh besar) di Irak selama 7
tahun lamanya, lalu ia tersadar sejenak sebelum akhirnya kembali tenggelam
dalam keadaan ini selama 7 tahun berikutnya. Selama berada pada maqam ini, ia
tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak shalat, akan tetapi tetap
berdiri tegak di tanah lapang sambil menengadahkan pandangan matanya ke arah
langit.
Kami juga pernah mendengar cerita tentang beberapa masyayikh di
Mesir yang berwudhu lalu berbaring seraya berkata pada pendampingnya, “Jangan
engkau bangunkan aku dari tidurku sampai aku sendiri yang akan bangun.” Ia pun
tertidur hingga 17 tahun lamanya, lalu ia bangkit dari tidurnya dan shalat
dengan wudhunya tersebut.
Para ‘arif billah merindukan keadaan al-jama’ ini. Sedangkan Allah
SWT, karena rasa kasih sayang-Nya, memindahkan mereka dari keadaan ini. Agar
mereka tetap dapat menjalankan kewajiban-kewajiban mereka dan terhindar dari
rusaknya fisik dan hancurnya persendian mereka. Karena, anugerah Allah berupa
ilmu dan hikmah, jika sudah menguat dan menguasai, tidak akan sanggup kekuatan
fisik manusia menanggungnya. Bukankah Gunung Al-Thur terbakar dan menjadi debu
ketika cahaya anugerah Allah bersinar di atasnya?
Tidak benar pengakuan sebagian orang yang telah dikuasai oleh setan
yang menyatakan bahwa mereka telah mencapai maqam al-jama’ ini. Sehingga kita
menyaksikan mereka meninggalkan ibadah dan melalaikan kewajiban-kewajiban agama
seperti puasa dan shalat. Di samping itu, mereka juga memperturutkan syahwat
dan keinginan nafsu mereka serta melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah
SWT. Seandainya mereka adalah para wali Allah, seperti pengakuan mereka,
niscaya Allah akan memelihara mereka dari hal-hal tersebut. Dan, seandainya
mereka benar-benar hanyut dalam kefanaannya dengan Allah, niscaya mereka akan
lenyap dari selain diri-Nya.
Kami tidak akan memperpanjang pembicaraan, walaupun masalah ini
adalah masalah yang sangat luas pembahasannya. Bahkan, banyak orang yang
tergelincir pemahamannya saat membahas hal ini. Karena, ini termasuk masalah
yang sangat rumit dan sulit dipahami oleh akal manusia, apalagi hanya dengan
pikiran-pikiran belaka.
Mengenai keadaan farq, seseorang yang telah mencapai akan selalu
mendapatkan perlindungan dari Allah dan penglihatan dengan pandangan inayah-Nya.
Saat itulah, akan muncul bisikan Rabbani, yang disebut di kalangan sufi dengan
istilah idzn (izin), dan bisikan malaikat, mereka menyebutnya sebagai ilham.
Dan, mereka tidak melaksanakan bisikan-bisikan itu kecuali yang sesuai dengan
tuntutan Al-Quran dan hadis.
Adapun Al-khathir asy-syaaithani (bisikan setan), hal itu tidak ada
pada diri mereka. Karena setan tidak sanggup mendekati hati orang yang sudah
wushul (sampai) kepada Allah dan selalu disinari dengan cahaya makrifat
kepada-Nya.
Bahkan, terkadang setan justru tunduk kepada orang-orang yang telah
washil kepada Allah, seperti yang pernah dialami oleh Rasulullah SAW. Rasul
bersabda, “Aku juga mendapat (godaan) setan, namun Allah SWT menolongku
atasnya, hingga ia menyerah dan tidak memerintah kecuali suatu kebaikan.”
Sedangkan mengenai al-khathir an-nafsani (bisikan nafsu), hal ini
amat mustahil ada pada diri orang yang telah sampai (washul) kepada Allah.
Karena jiwa orang yang wahsil, telah merasa tentram dan tenang bersama Allah,
serta senantiasa dekat dan tunduk hanya kepada-Nya. Allah menyeru serta
memanggilnya, hingga jiwa itu datang dan kembali kepada-Nya. Lalu, Allah
memasukkannya ke dalam golongan hamba-hamba-Nya dan menempatkan mereka di dalam
surga yang luasnya seluas langit dan bumi, dan hanya disedikan untuk
hamba-hamba yang bertakwa.”
-- Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam kitab An-Nafais
Al-‘Uluwiyyah fi Masail Ash-Shufiyyah.
0 komentar:
Posting Komentar
terima kasih telah berkunjung ke blog fathan karim